JAWABAN ATAS DUA PERTANYAAN
Pertanyaan: Kebanyakan kan orang kalau ziarah di makam kayak itu nyebar bunga
sama baca Yasin atau doa yang lainny di sana. Nah itu bagaimana menurut islam?
Dan sebaikny bagaimana?
Terimakasih.
Jawab:
الحمد لله رب العالمين ، و الصلاة و السلام على الرسول الأمين و على
آله و أصحابه الطاهرين و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين ، أما بعد :
Permasalalahan
semacam itu memang terus hangat diperbincangkan banyak orang dan bisa dibilang
sangat sacral menurut pandangan sementara orang-orang di negeri ini.
Permasalahan pertama yang ditanyakan, yaitu membaca surat Yasin di kuburan,
terhitung sebagai tradisi menjamur di berbagai belahan negeri Islam. Tujuan
dibacanya surat Yasin antara lain transfer pahala untuk penghuni kuburan.
Padahal transfer pahala merupakan permasalahan yang mengada-ada yang sama
sekali tak pernah dituntunkan dalam syariat Islam. Hasilnya, apa yang mereka
baca sama sekali tak akan membuahkan pahala, bahkan cenderung dosa. Kenapa?
Karena Islam tidak pernah menuntunkannya yang berarti perkara baru dalam agama
atau istilah ilmiahnya adalah bid’ah.
Kuburan
bukanlah tempat membaca Al-Quran. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
pernah mengatakan, “Kalian jangan menjadikan rumah-rumah kalian seperti
kuburan yang tak dibacakan Al-Quran. Sebab, setan akan lari menjauhi rumah yang
dibacakan surat Al-Baqarah” (HR Muslim)
Tetang
perbuatan bid’ah, beliau menegaskan, “Setiap yang bid’ah itu sesat, dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan
lainnya)
Lain daripada
itu, transfer pahala untuk orang mati tidak akan pernah sampai.
Allah Ta’ala
berfirman, “Dan orang tidak akan mendapatkan kecuali apa yang telah ia
usahakan.” (QS An-Najm)
Ketika
mentafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir membawakan suatu riwayat dari Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i bahwa beliau menjadikan ayat di atas sebagai
dalil atas pendapatnya yang mengatakan tidak ada transfer pahala.
Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- pernah mengatakan, “Jika anak keturunan Adam (baca:
manusia) meninggal, maka amalannya bakal terputus kecuali tiga saja: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kebaikan
untuknya.”
Selain daripada
3 amalan di atas, bisa dipastikan tidak akan pernah sampai pada mayit.
Jika demikian,
maka tradisi-tradisi transfer pahala yang kerap diadakan sebagian orang semacam
tahlilan, yasinan, gendurian, dan semacamnya termasuk perbuatan yang sia-sia
yang tidak saja mendapat kelehtihan semata, namun juga dosa.
Allah Ta’ala
pernah mengatakan, “Apakah kamu mau kami beritahu tentang orang-orang yang
merugi amalannya? Merekalah orang-orang yang sesat perbuatannya di dunia sementara mereka menyangka bahwa
mereka telah melakukan perbuatan baik.” (QS Al-Kahfi)
Sedangkan
bordoa di kuburan, maka perlu dilihat. Jika mendoakan kebaikan untuk si mayit,
maka tidak mengapa. Akan tetapi jika berdoa bukan untuk si mayit, seperti untuk
dirinya sendiri, tentu tidak pernah ada tuntunan. Bahkan dikhawatirkan akan
timbul keyakinan bahwa berdoa di samping kubur lebih mustajab daripada doa di
tempat lain. Lebih parahnya, jika nanti kemudian malah doa pada kuburan, tentu
lebih berbahaya lagi. Ringkasnya, doa untuk diri sendiri di sisi kubur dinilai
sangat berbahaya karena dapat menjadi sebab timbulnya kemusyrikan.
Permasalahan
kedua, menabur bunga di pekuburan. Sekarang kita balik pertanyaannya, apa
manfaat tabur bunga di pemakaman? Tabur bunga hanya membuang-buang duit. Toh
penghuni kubur tak akan dapat manfaat dari bunga yang ditaburkan di atas
pusarannya. Sekiranya nominal bunga itu disedekahkan, tentu lebih manfaat.
Kemudian, tabur
bunga di pemakaman itu asalnya dari orang-orang kafir. Lihat saja tradisi
orang-orang Nasrani, Hindu, Konghucu, dan semisalnya, pasti akan mudah dijumpai
kebiasaan itu. Padahal ikut-ikut tradisi orang-orang kafir termasuk tindakan
yang dilarang oleh syariat Islam.
Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- pernah mengatakan, “Siapa yang menyerupai suatu
masyarakat, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
Artinya, jika
ada orang Muslim yang mengikuti kebiasaan orang kafir, berarti ia bisa ikut
kafir pula. Demikian menurut penjelasan sebagian ulama.
Beliau juga
mengatakan, “Sungguh kalian nanti bakal akan membeo kebiasaan-kebiasaan
orang-orang sebelum kalian; sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Sampai-sampai seandainya mereka masuk lubang biawak pun kalian akan mengikuti
mereka.”
Mendengar perkataan beliau di atas, orang-orang bertanya, “Apakah
mereka (yang dimaksud ‘orang-orang sebelum kalian’-pent) itu
Yahudi dan Nasrani?”
“Siapa lagi?!,” jawab tegas Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Adalagi permasalahan
yang mirip pertanyaan kedua di atas, yaitu menyiram pusaran dengan air. Menurut
pendapat Syafi’iyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah, perbuatan tersebut dianjurkan
dengan tujuan agar tanah tidak habis diterjang air. Alasannya karena Nabi
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan perbuatan
tersebut pada makam Sa’d bin Mu’adz dan beliau memerintahkan agar makam ‘Utsman bin Mazh’un diperlakukan
sama.
Bahkan kalangan
Syafi’iyyah dan Hanabilah juga berpandangan sunnah pula meletakkan
kerikil-kerikil di atas pusaran mengingat riwayat dari Ja’far bin Muhammad,
dari ayahnya, bahwasannya Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
pernah menyiram dan meletakkan kerikil di atas makan puteranya Ibrahim.
Muhammad Nashiruddin
bin Haji Nuh Al-Albani pernah megatakan, “Terdapat banyak hadits tentang
menyirami makam dengan air, akan tetapi bermasalah, sebagaimana hal tersebut
yang telah saya jelaskan dalam Irwa’ Al-Ghalil. Kemudian saya menjumpai sebuah
hadits yang terdapat dalam Al-Mu’jam Al-Ausath karya Ath-Thabrani dengan
derajat sanad yang kuat, bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
pernah menyiram makam puteranya Ibrahim, maka aku cantumkan dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah.”
Akan tetapi perlu
diingat, bahwa alasan mengapa kubur disiram air dan diberi kerikil-kerikil
adalah hanya semata-mata agar tanahnya tidak hilang diterpa angin. Ingat, di
negeri Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tanahnya adalah
pasir yang mudah terbawa angin. Makanya perlu disiram air agar tidak terbawa
angin. Adapun di Indonesia, rasanya tidak perlu menyiramkan air ke pusaran,
apalagi dengan air kelapa, karena tanahnya yang tahan angin.
Adapun keyakinan
sementara sebagian orang, bahwa mayit memperoleh manfaat dari air yang
disiramkan ke makamnya, maka ini keyakinan yang tidak dibenarkan.
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan, “Adapun menyiram air di atas makam, bertujuan
untuk mengenyalkan tanah, bukan seperti yang disangka orang-orang awam bahwa
maksudnya adalah agar mayit merasa dingin. Sebab, mayit tidak bisa dingin
karena air, akan tetapi yang dapat mendinginkannya adalah pahalanya. Namun agar
tanahnya menjadi kenyal.”
Kiranya jawaban
di atas dapat menjadi jawaban atas persoalan yang ditanyakan meski ringkas.
Sengaja saya tulis secara ilmiah supaya dapat diketahui bahwa Islam itu bukan
agama yang dibantuk berdasarkan akal dan pikiran, namun agama wahyu yang telah
ditetapkan oleh Rabbul ‘alamin. Wallahua’lam.
Yogyakarta, 10 Januari 2015
و كتبه الفقير إلى ربه : صاحب الموقع -عفا الله عنه-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar